Cinta Sebatas Pulsa
tanggal post : 18 June 2015
“Karena minder, akhirnya saya menerima dia sebagai pacar.
Sata tak siap ketika dia mengambil alih hidup saya. Prestasi belajar saya pun turun,
apalagi ketika dia meninggalkan sayaâ€
Ketika saya baru kelas 3 SLTP, ada seorang laki-laki teman sekolah saya yang ‘nembak’. Dia bilang dia sayang sama saya dan mau menerima saya apa adanya. Waktu itu banyak teman perempuan saya yang sudah punya pacar, sehingga sebelum ada yang nembak, saya sempat merasa minder. Makanya begitu ada yang nembak, saya langsung terima setelah beberapa hari berpikir. Soalnya di keluarga kami tidak ada istilah pacaran apalagi untuk gadis seusia saya, karena menurut mereka jalan yang harus saya tempuh masih sangat panjang. Lulus SLTP pun belum
Selain itu, di sekolah pun guru-guru sering mengingatkan kami pada bahayanya pacaran, karena selain dapat merugikan orang lain juga dapat merugikan diri sendiri. Maklum, SLTP kami adalah salah satu sekolah yang berbasis agama islam. Tapi karena terus-terusan dihinggapi rasa minder, akhirnya saya anggap larang-larangan itu sebagai angin lalu. Kami pun jadian tepatnya tanggal 24 Juli 2002, dengan satu syarat hubungan kami harus dirahasiakan alias backstreet.
Bulan pertama semua berjalan dengan lancar. Namun pada bulan kedua, komunikasi kami mulai memburuk. Maklumlah, selama itu kami pacaran lewat hp, baik nelpon atau sms, dan begitu pulsanya habis, pacaran kami pun terputus. Bila ingin pacaran kami berlanjut, maka kami harus isi pulsa dulu, dan itu berarti kami harus minta uang pada ortu untuk beli pulsa. Akibatnya ortu kami mulai curiga, kok sering banget sih anaknya minta isi ulang pulsa. Selain itu, teman-teman disekolah pun banyak yang curiga. Padahal kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk menutupi hubungan ini dengan cara tidak pernah keluar main berdua, ngobrol depan orang banyak. Pokoknya selain di telpon atau sms, kami cuek-cuekan.
Begitu tahu kalau orang-orang sudah mencium hubungan kami, kami pun takut kehilangan satu sama lain, karena entah mengapa kami sangat menikmati hubungan ini. Saya semakin takut ketika sidia jarang ngasih kabar. Konsentrasi belajarnya pun semakin buyar. Saya lalu mengusulkan pada dia untuk berteman saja alias putus. Karena saya tidak ingin prestasi yang telah saya ukir sejak kecil sirna begitu saja, dan saya juga tidak ingin kegiatan saya di OSIS maupun di redaksi mading sekolah jadi terganggu akibat saya kurang atau mungkin tidak bertanggung jawab. Saat saya utarakan usul itu, dia marah.
Dia bilang saya tidak mau berkorban, padahal dia telah meyakinkan ortunya serta teman-teman sekolah kalau diantara kami berdua tidak ada hubungan apa-apa. Katanya juga kami tidak boleh menyerah karena hubungan kami ini tidak melanggar batasan pergaulan antara perempuan dan laki-laki menurut agama. Pada intinya dia menolak untuk putus.
Meihat keseriusannya pada hubungan kami ini, saya cukup terharu dan semakin hanyut kedalamnya. Makin hari entah mengapa saya semakin tergantung pada dia. Cara dia memanjakan saya, menyayangi saya dan memperhatikan saya membuat saya merasa selalu berada di atas awan. Sampai pada suatu hari, saya pingsan di sekolah tepat di depan dia saat ujian praktek oleh raga, dokter mendiagnosis saya punya kelainan jantung, dalam sekejap mata semuanya berubah. Tepat sehari setelah hari raya Idul Adha, dia memutuskan untuk berpisah alias putus dengan alasan lebih baik kami berteman saja.
Oh, sungguh munafiknya dia. Kalau memang dia ingin berteman saja, mengapa ketika dulu saya usulkan dia menolaknya dan memohon pada saya untuk mempertahankan hubungan ini dan sedikit berkorban. Apa arti semua ini ???? Apa karena sekarang dia tahu kalau saya mempunyai penyakit, sehingga kalau dia terus-terusan bersama saya, hal itu akan membuat dia repot. Bukankah dulu sebelum kami jadian dia pernah bilang akan menerima saya apa adanya. Mana buktinya ? Itulah pertanyaan yang sempat muncul ketika jam 08.32, dia menelepon untuk mengakhiri semuanya.
Seiring berakhirnya hubungan ini, berakhir pula prestasi-prestasi dan keaktifan saya dalam organisasi. Saya larut dalam kesedihan sehingga penyakit yang sejak kecil dan baru kali ini terdiagnosa semakin berpeluang menguasai diri ini. Dua tahun telah berlalu, kesedihan itu memang sudah mulai terobati. Sejak itu saya berusaha dekat denganNya dan memohon ampun atas apa yang telah saya perbuat. Tapi prestasi-prestasi itu belum dapat saya raih kembali. Sekarang ini di SMA, saya sama saja dengan yang patut saya banggakan. Keinginan saya saat ini, hanya ingin mengukir prestasi lagi seperti dulu sebelum saya mengenal dia sebagai pacar karesaya ingin ortu saya bangga seperti dulu lagi. Klik belipulsa.id.
Â
Â
Redaktur oleh Natalia br BarusÂ