cerpen, fiksiana

Setan Kerasukan Manusia


tanggal post : 08 December 2018
Setan Kerasukan Manusia

Suatu hari, setan yang bernama Kacung marah-marah ketika baru sampai rumah. Ia membanting segala barang yang ada di hadapannya. Menendang dan memukul segala perabotan rumah tangga. Istrinya yang baru sekejap melelapkan diri, langsung kaget dan segera menemui suaminya yang sedang sibuk memecahkan piring di dapur.

“Kamu kenapa marah-marah begitu, bang?”
“Nggak usah pura-pura bego! Kamu tadi pagi ke mana aja?”
“Saya di rumah aja. Mencuci, memasak, menjahit, selepas itu saya ketiduran karena tengah malam saya nggak bisa tidur, bang.”
“Halah!”
Kacung menghajar lagi gelas selusin sampai pecah berkeping-keping. Kini rumahnya seperti kapal pecah. Istrinya hanya bisa menangis tersedu-sedu melihat kelakuan suaminya tersebut. Ia semakin pusing, pusing, dan akhirnya… brak! Pingsan.

Di luar sana, tepatnya lima rumah dari rumah Kacung, seorang setan perawan yang bernama Ramya, sedang berdiri di ujung gang. Ia seperti menunggu seseorang untuk menjemputnya. Barangkali ia sudah menunggu sedari tadi, sampai-sampai keringat mulai melintasi wajahnya. Mudah-mudahan saja yang ia tunggu segera tiba, sebab pakaiannya kali ini begitu menawan. Jeans hitam ketat dan high heels impor, kaus berkerah lengan pendek yang tak lupa ketatnya juga, dan wah, make up yang selayaknya artis! Para setan pria yang lalu lalang segera fokus ke Ramya. Tak hanya fokus pada wajahnya yang kelihatan seperti barbie, tapi juga fokus pada setiap lekuk tubuhnya yang sangat terdefinisi dengan jelas. Tentu, para pria yang melihatnya juga tak lupa untuk menggodanya.

Sesaat kemudian, sosok yang dinanti Ramya datang, tapi bersama setan perempuan yang lain. Ia adalah Sukur, pacarnya Ramya. Alangkah anehnya, Sukur tak menyadari keberadaan Ramya. Ia malah asyik berpelukan mesra dengan perempuan yang asing bagi Ramya itu. Tentu saja, magma yang ada di gunung hati Ramya langsung menyembur keluar. Ia langsung melabrak mereka dan menghajar mereka berdua habis-habisan.

“Dasar keong racun, sambalado, buaya darat, kucing garong!”
Sukur dan selingkuhannya itu pun tewas mengenaskan.

Tak jauh dari lokasi pembantaian tadi, kira-kira sekitar tiga kilometer, terdapatlah seorang setan kecil yang bicaranya masih susah, jalannya masih sering terjatuh, dan masih butuh air susu ibunya. Ia seperti anak setan lainnya, hanya saja ia selalu menggenggam sebuah smartphone berlayar lebar. Orangtuanya bukanlah orang yang kaya, tapi apa sih yang nggak untuk anaknya?
Orangtuanya sangat bangga melihat perkembangan anaknya sejauh ini. Mereka mengira bahwa Hakuy, anak mereka itu, adalah seorang anak yang cerdas.

“Hakuy hebat ya, Ma. Umur segini sudah memahami smartphone.” Ujar ayahnya bangga.
“Pastinya, Pa. Itu semua kan berkat usaha kita dalam mendidiknya. Dan bisa jadi, tahun depan Hakuy bisa menciptkan smartphone sendiri!” Ibunya juga tak mau ketinggalan memuji.

Hakuy hanya memahami smartphone-nya, tapi tidak memahami apa saja yang sudah dibicarakan kedua orangtuanya. Ia sibuk menatap layar, memainkan jari-jarinya. Sampai terkadang air liurnya menetes saking seriusnya memandangi layar smartphone itu.

Akibatnya, Hakuy tak punya teman. Ia tak pernah mau meninggalkan ponsel itu di saat semua teman-temannya sedang bermain asyik layaknya anak setan sebagaimana mestinya. Ia sibuk dengan “mainan”nya sendiri. Tapi orangtuanya Hakuy tak pernah ambil pusing soal itu. Mereka percaya, dengan cara seperti ini, anaknya dapat menjadi setan yang maju dan membawa perubahan canggih untuk dunia setan.

Tak hanya itu, sebenarnya masih banyak lagi kelainan atau kejadian-kejadian janggal yang melanda masyarakat di negeri setan. Apakah ini yang namanya tanda-tanda akhir zaman? Ah, biarlah itu menjadi rahasia Illahi. Tapi sih menurutku tidak. Karena kita masih memiliki seorang setan sejati di sini.

“Bagaimana pekerjaanmu, Budi?”
“Biasa, pak. Menyebalkan seperti biasanya.”

Budi meletakkan sepatunya di atas rak seperti biasanya. Walaupun ia setan, ia adalah setan yang disiplin. Selepas ini, ia akan mandi. Setelah mandi, ia akan beribadah kepada Tuhan. Mungkin kebanyakan dari kita akan berpikir bahwa setan adalah makhluk yang ingkar terhadap Tuhannya. Tidak. Siapa yang tahu. Bisa jadi mereka hanya ingkar pada manusia saja. Tapi aku juga tidak tahu sih. Lebih baik kita dengar saja percakapan Budi dengan ayahnya nanti.

“Pak, Budi mau berhenti saja.”
“Jangan. Nanti Tuhan marah.” Jawab ayahnya tenang dan santai sambil membaca buku.
“Habis manusia semakin lama semakin menjadi-jadi. Mereka berlebihan, pak!”
“Berlebihan gimana?”
“Mereka selalu menganggap bahwa segala perbuatan buruk mereka adalah hasil dari godaan kita! Padahal, contohnya tadi, Budi belum menggoda, tapi mereka sudah berbuat mes*m duluan, pak! Nah, setelah digrebek, mereka baru menyebut-nyebut bahwa ini adalah perbuatan setan. Salah satu dari mereka langsung berceramah dan mengatakan bahwa mereka harus meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan agar tak tergoda dengan kita! Ah, entahlah, pak!”
Ayahnya Budi tertawa. Lalu ia beranjak dari peraduannya dan melangkah masuk ke dalam kamar. Budi ditinggal sendiri di ruangan itu. Ia merenung kembali, dan bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya siapa yang lebih baik, setan atau manusia?

Keesokan harinya, seperti biasa, Budi berangkat bekerja. Kali ini ia ditugaskan untuk menggoda salah seorang anak cucu Adam yang sedang duduk termenung. Sepertinya sedang merana karena putus cinta.
“Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang…” Batin Budi sebelum beraksi.
Anak muda itu tentu tak menyadari kedatangan Budi. Ia tetap termenung, melamun. Sembari melamun, Budi mulai menggoda dan berbisik ke dalam batin si pemuda.
“Hei, buat perempuan itu merasakan sakit seperti yang kau rasakan!” Bisik Budi.
“Tidak, itu bukanlah gayaku. Lebih baik aku pergi ke diskotik untuk melupakan semua itu dan bermain sepuasnya dengan para wanita-wanita yang ada di sana!” Balas batin si pemuda.

Budi diam. Pemuda itu pergi meninggalkan Budi sendirian. Budi stres dan frustrasi. Ia muak, ia benci dengan manusia. Ia mengutuki mereka. Rasa sabarnya sebagai penggoda manusia sudah habis. Manusia lebih buruk dari setan, pikirnya. Manusia egois, tak mau mendengarkan. Dengan emosi yang meluap-luap, ia pulang.

Ketika sampai sudah di negeri setan, ia terbelalak. Semua telah berubah. Kini ia tak bisa lagi membedakan, mana dunia manusia mana dunia setan. Semua tampak sama. Gedung-gedung menjulang tinggi, pabrik berpolusi, kendaraan pembuat macet, pekerja s*ks, anak sekolahan yang tak tahu diri, perampokan, pembunuhan, pemerk*saan, penganiayaan, dan masih banyak lagi. Dalam sekejap saja, kehidupan manusia sudah merasuk menjadi kehidupan setan juga.

“Pak?”
Hanya tinggal ayahnya Budi yang masih normal sebagai setan. Seperti biasa, ia membaca buku di kursi empuknya. Ia menyadari kehadiran anaknya, Budi, dan tersenyum sembari menggeleng.
“Daripada mengajak manusia untuk mendengarkan setan, lebih baik Budi mengajak setan untuk kembali berada di jalan yang sebenarnya, pak.”
“Manusia memang hebat, nak. Kini kau takkan mampu lagi membedakan mana yang setan mana yang manusia. Semua telah menyatu.”

Budi termenung. Ayahnya menghampirinya dan menarik tangan Budi dengan lembut. Mereka melangkah bersama. Pergi entah ke mana. Barangkali bersembunyi, demi menjaga jati diri. Mereka tak mau mati dalam keadaan menjadi manusia.

 


Artikel Terkait

Viewer : 204 User: